Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Negara Terlalu Pintar, Rekening Nganggur 3 Bulan Dibekukan, Siapa yang Sebenarnya Dilindungi?

Baru-baru ini, PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) mengumumkan kebijakan pembekuan rekening bank yang tidak digunakan selama tiga bulan. Dalam narasi resminya, kebijakan ini disebut sebagai langkah untuk mencegah praktik pencucian uang, penyalahgunaan rekening, hingga jual beli akun bank oleh oknum kriminal. Di atas kertas, semuanya terdengar logis. Tapi jika dicermati lebih dalam, kebijakan ini justru memunculkan keganjilan mendasar yang tak bisa diabaikan: atas nama pencegahan kejahatan, negara kini berani mencabut akses seseorang atas uang miliknya sendiri.

Situasi ini menjadi paradoks. Kita diajarkan sejak kecil bahwa menabung itu baik. Kita diimbau menyimpan dana darurat di rekening pribadi. Tapi hari ini, jika seseorang menyimpan uangnya tanpa aktivitas transaksi selama 3 bulan, negara datang dan menyatakan aksesmu kami hentikan sementara, karena kami curiga. Tidak ada proses hukum. Tidak ada bukti keterlibatan kejahatan. Cukup karena “terlalu lama diam”, rekening bisa dibekukan.

Ini bukan sekadar kebijakan teknis. Ini adalah pergeseran cara pandang negara terhadap rakyatnya. Dari warga negara yang berhak atas kendali penuh atas keuangannya, menjadi subjek yang harus terus diawasi dan dikendalikan agar tidak menimbulkan potensi masalah.

Di sini, kehati-hatian berubah wujud menjadi kecurigaan sistemik. Semua orang diasumsikan bisa bersalah hanya karena tidak aktif menggunakan uangnya. Dan lebih ironis lagi, rekening pasif yang dalam banyak kasus hanya berisi sisa saldo kecil, atau bahkan hanya digunakan menerima bantuan sosial diposisikan seolah-olah memiliki potensi besar terlibat dalam tindak kejahatan.

Apa yang dilupakan dari kebijakan ini adalah konteks sosial masyarakat Indonesia. Di luar kota-kota besar, jutaan orang masih menyimpan rekening bank hanya untuk keperluan tertentu. Gaji proyek, bansos, atau sumbangan keluarga. Tidak semua orang aktif berbelanja daring. Tidak semua warga bertransaksi digital setiap minggu. Dan tidak semua orang merasa perlu menyentuh rekeningnya setiap bulan.

Lalu ketika mereka tahu rekeningnya dibekukan, apa yang bisa dilakukan? Mengisi formulir? Menunggu hingga 20 hari? Mengakses layanan digital yang bahkan belum semua orang pahami? Ini bukan perlindungan. Ini pembatasan.

Ada ketimpangan besar antara cara negara melihat kejahatan dan cara negara memperlakukan warga. Mengapa pendekatan yang digunakan bersifat pemblokiran massal, alih-alih investigasi berbasis data akurat? Mengapa tidak membedakan rekening dengan saldo besar dan aktivitas mencurigakan, dengan rekening pasif milik rakyat biasa yang tidak memiliki daya tawar?

Jawabannya sederhana. Karena sistem lebih memilih pendekatan efisiensi. Lebih mudah membekukan ribuan rekening atas dasar algoritma “tidak aktif”, daripada membangun sistem yang mampu memilah mana pengguna nyata dan mana yang fiktif. Lebih cepat menyalahkan diam, daripada menyelami alasan mengapa seseorang memilih tidak menyentuh uangnya dalam waktu tertentu.

Dan di sinilah bahayanya.

Ketika sistem negara mulai memperlakukan keheningan finansial sebagai kejahatan potensial, maka yang terancam bukan hanya mereka yang diam, tapi siapa pun yang sewaktu-waktu tak mampu memenuhi ekspektasi sistem untuk selalu aktif. Warga negara dipaksa menjadi konsumen terus-menerus. Didorong untuk bergerak, bertransaksi, dan menciptakan jejak digital, agar keberadaan mereka dianggap “aman”.

Padahal, diam bukanlah kejahatan. Tidak bertransaksi bukanlah bukti kesalahan. Seseorang berhak menyimpan uangnya, tidak menggunakannya, dan tidak melapor pada siapa pun soal itu. Ini adalah hak milik paling dasar. Tapi di tengah logika pengawasan yang semakin agresif, hak ini perlahan dipangkas, dikerdilkan, dan akhirnya dihapus dengan alasan “demi kebaikan bersama.”

Apakah kita masih hidup dalam pemerintahan  yang melindungi warganya? Atau justru telah berubah ke pemerintahan yang mencurigai semua warganya, lalu menyebutnya perlindungan?

Kebijakan ini membuka tabir kenyataan pahit,  negara kini tidak sekadar mengatur lalu lintas transaksi, tapi juga mulai menentukan bagaimana seseorang seharusnya menggunakan dan mengakses uang miliknya sendiri. Dan ketika negara sudah bisa memutus akses finansial hanya karena alasan “tidak aktif”, maka sebenarnya kita telah berada di ruang yang lebih gelap dari yang kita kira.

Bukan sekadar soal rekening nganggur. Ini tentang bagaimana negara mulai merasa berhak menentukan kapan seseorang boleh mengakses uangnya dan kapan tidak.


#evans

yX Media - Monetize your website traffic with us