Bayang-Bayang Pungutan Gelap di Gunungsitoli: Ketika Keadilan Tunduk Pada Kepentingan
Gunungsitoli, kota yang terus berkembang dengan denyut ekonomi rakyatnya. Dari subuh hingga senja, pasar-pasar tradisional diisi hiruk-pikuk aktivitas dagang. Pedagang kecil, petani, nelayan, dan pemasok ternak bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun, di balik kesibukan ini, ada bayang-bayang yang jarang terlihat—sebuah praktik yang berjalan di bawah permukaan, membebani mereka yang mencari nafkah dengan cara yang seharusnya sah dan legal.
Pemasok babi, bagian penting dari rantai distribusi pangan di kota ini, mendapati diri mereka terjebak dalam sebuah skema yang tidak mereka pahami sepenuhnya. Mereka yang memotong hewan di Rumah Potong Hewan Babi (RPHB) diharuskan membayar retribusi, itu wajar. Tetapi bagaimana dengan mereka yang tidak menggunakan fasilitas itu? Di sinilah pertanyaan mulai muncul.
Mereka yang memilih memotong sendiri, atau menggunakan jalur lain yang sah, tetap diwajibkan membayar biaya RPHB. Sebuah ironi yang sulit diterima: membayar untuk layanan yang tidak mereka gunakan.
Keharusan atau Paksaan?
"Lewat atau bayar." Begitulah ultimatum yang beredar di kalangan pemasok. Tidak ada negosiasi, tidak ada pengecualian. Entah mereka mematuhi atau menghadapi konsekuensi yang mungkin akan lebih sulit lagi.
“Bagaimana bisa saya membayar sesuatu yang tidak saya gunakan?” keluh seorang pemasok yang memilih untuk tidak disebutkan namanya. “Kami sudah punya jalur sendiri, kami tidak memakai fasilitas mereka, tetapi tetap harus bayar? Ini tidak masuk akal.”
Beberapa pemasok mencoba bertanya, mencoba mencari kejelasan. Namun, jawaban yang mereka dapat lebih sering berupa sikap dingin atau pengalihan yang tidak pernah memberikan solusi. Lebih buruk lagi, mereka yang terlalu keras bersuara mulai menghadapi hambatan yang sebelumnya tidak ada. Urusan perizinan jadi lebih sulit, distribusi jadi lebih berbelit.
Di sinilah hukum mulai terasa absurd. Bukankah dalam aturan resmi, sebuah pembayaran hanya bisa ditarik jika ada layanan yang diberikan? Bukankah pemungutan yang tidak memiliki dasar hukum termasuk dalam kategori pungutan liar?
Di Antara Regulasi dan Kepentingan
Peraturan memang ada, tapi interpretasi bisa menjadi senjata. Di atas kertas, retribusi hanya boleh dipungut jika ada timbal balik layanan. Namun, dalam praktiknya, regulasi bisa dimanfaatkan sebagai alat untuk kepentingan tertentu.
Jika ini murni soal aturan, seharusnya ada transparansi. Seharusnya ada penjelasan yang logis mengapa pemasok tetap harus membayar meskipun tidak menggunakan fasilitas tersebut. Tapi jika ini bukan soal aturan, melainkan kepentingan tersembunyi, maka pertanyaan besarnya adalah: siapa yang diuntungkan?
Ada banyak spekulasi yang beredar. Beberapa orang mulai bertanya-tanya, apakah ini hanya sekadar kebijakan yang salah arah, atau ada sesuatu yang lebih besar di baliknya? Jika pembayaran ini tidak sah, ke mana perginya uang yang dikutip dari pemasok? Apakah tercatat dalam kas daerah, atau mengalir ke kantong-kantong yang tidak seharusnya?
Ketakutan yang Nyata
Bagi pemasok kecil, bersuara terlalu lantang bukanlah pilihan mudah. Mereka bergantung pada sistem yang sekarang justru menekan mereka. Jika mereka melawan, bisnis mereka bisa terancam. Jika mereka diam, mereka terus diperas.
Mereka tahu ada sesuatu yang tidak benar, tetapi siapa yang berani berdiri menghadapi kekuatan yang tak kasatmata ini? Siapa yang bisa memastikan bahwa aturan benar-benar ditegakkan, bukan dimanipulasi untuk keuntungan segelintir pihak?
Ironinya, semakin banyak yang diam, semakin besar kemungkinan praktik ini terus berlangsung. Sebuah sistem yang dibiarkan berjalan tanpa pengawasan hanya akan semakin kuat, semakin dalam, dan semakin sulit dihentikan.
Apakah Ini Akan Berlanjut?
Di Gunungsitoli, hukum seharusnya menjadi perisai bagi rakyatnya. Tapi saat aturan dijadikan alat pemaksaan, saat keadilan diperjualbelikan, siapa yang bisa berbicara?
Sampai kapan pemasok harus membayar sesuatu yang tidak pernah mereka gunakan? Sampai berapa banyak yang harus menyerah sebelum seseorang berani berkata, "Ini salah"?
Sejarah telah menunjukkan bahwa kebenaran tidak bisa selamanya dikubur. Semakin dalam ditutup-tutupi, semakin besar gelombang saat akhirnya mencuat ke permukaan.
Gunungsitoli masih sunyi. Tetapi kebenaran selalu menemukan jalannya sendiri. Cepat atau lambat, bayang-bayang ini akan kehilangan tempat untuk bersembunyi.


