Media Tempo di Terorr ,Siapa yang Takut pada Kebenaran?, Siapa yang Bermain di Balik Layar?
Teror terhadap Media Tempo dengan pengiriman kepala babi dan bangkai tikus tanpa kepala bukanlah hanya sekadar tindakan iseng atau vandalisme biasa, ini adalah sebuah pesan dengan ancaman yang terstruktur, mengarah pada upaya membungkam kebebasan pers.
Namun pertanyaannya bukan hanya tertuju kepada siapa pelakunya?, melainkan siapa yang diuntungkan dari kejadian tersebut?, apakah ini adalah ulah dari pihak yang merasa terancam dengan pemberitaan Media Tempo? Atau ada sebuah skenario yang lebih besar, dimana sebuah upaya memperkeruh suasana, mengkambinghitamkan salah satu pihak tertentu, atau bahkan menciptakan ketakutan besar untuk sebuah tujuan politik tertentu?
Jika kita kembali melihat sejarah serangan terhadap Media Tempo Dimana terdapat ada pola yang kerap berulang, ketika sebuah media mengungkap fakta yang tidak menguntungkan bagi kelompok tertentu, serangan datang dengan berbagai bentuk: mulai dari gugatan hukum, tekanan ekonomi, hingga ancaman fisik. Namun, teror berupa pengiriman kepala babi dan bangkai tikus ini bukan hanya ancaman biasa—ini adalah bentuk intimidasi psikologis yang bertujuan menciptakan ketakutan sistematis di kalangan jurnalis.
Lalu, siapa yang melakukan ini?
Ada beberapa kemungkinan. Pertama, ini bisa jadi dilakukan oleh pihak yang merasa terganggu dengan pemberitaan Tempo. Media ini dikenal sebagai salah satu yang berani mengungkap berbagai kasus besar, termasuk yang melibatkan tokoh politik, pejabat negara, hingga konglomerat besar. Fakta-fakta yang mereka beberkan sering kali menjadi pukulan telak bagi pihak yang selama ini nyaman bermain dalam bayang-bayang. Jika benar demikian, maka ini adalah bentuk balas dendam dari mereka yang merasa terancam oleh kebenaran.
Namun, ada kemungkinan lain yang tak kalah berbahaya. Bisa jadi ini adalah operasi terselubung yang sengaja dirancang untuk memperkeruh situasi dan mengalihkan perhatian publik dari isu-isu yang lebih besar. Dalam strategi politik, menciptakan kekacauan untuk mengontrol narasi bukanlah hal yang baru. Dengan adanya kasus teror ini, publik akan sibuk membicarakan ancaman terhadap kebebasan pers, sementara ada agenda lain yang berjalan di balik layar tanpa disadari.
Benarkah Ini Pengalihan Isu?
Dalam dunia politik, ada strategi yang dikenal sebagai diversion tactics, mengalihkan perhatian publik dari isu utama dengan menciptakan kegaduhan di tempat lain.
Pertanyaannya, apakah teror terhadap Tempo ini merupakan bagian dari strategi tersebut?
Jika kita lihat, Indonesia tengah menghadapi berbagai isu besar: ketidakstabilan politik, konflik hukum, hingga polemik kebijakan yang memicu protes publik. Bisa jadi, aksi teror ini bukan sekadar ancaman terhadap pers, tetapi juga alat untuk mengubah fokus perhatian masyarakat. Ketika semua orang sibuk mengutuk serangan terhadap Tempo, bisa jadi ada keputusan besar yang diambil secara diam-diam tanpa mendapat sorotan yang seharusnya.
Kemungkinan lain yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa teror ini dilakukan bukan oleh pihak yang ingin membungkam Tempo, tetapi oleh kelompok lain yang ingin menciptakan kesan seolah-olah ada ancaman terhadap kebebasan pers. Dengan kata lain, ini bisa saja menjadi upaya penggiringan opini, di mana ada pihak yang sengaja melakukan serangan ini untuk menuduh lawan politik atau aktor tertentu sebagai pelakunya.
Jika benar demikian, maka ini bukan sekadar ancaman terhadap Tempo, melainkan bagian dari perang opini yang lebih luas. Dalam politik, memainkan peran sebagai korban bisa menjadi strategi yang efektif untuk mendapatkan simpati publik dan membentuk persepsi tertentu terhadap lawan.
Namun, siapa pun pelakunya, satu hal yang pasti yaitu kebebasan pers sedang diuji, jika kasus ini tidak segera diusut tuntas, maka ke depan ancaman serupa bisa terjadi lagi, bukan hanya terhadap Tempo, melainkan terhadap media lain yang berani bersuara kritis.
Kita tidak boleh terjebak dalam permainan ini, tetapi kita juga tidak bisa diam.
Kasus ini harus diusut secara tuntas dan transparan. Aparat penegak hukum harus segera mencari tahu siapa dalang di balik aksi ini, bukan hanya untuk mengetahui siapa eksekutornya, tetapi juga siapa aktor utama yang menggerakkan aksi ini dari balik layar.
Jika hanya fokus pada aksi terornya tanpa mempertanyakan siapa yang sebenarnya diuntungkan, kita bisa saja terjebak dalam permainan yang lebih besar. Di sisi lain, membiarkan kasus ini berlalu tanpa konsekuensi hanya akan memberi ruang bagi aksi-aksi serupa di masa depan.
Teror terhadap Tempo bukan hanya serangan terhadap satu media, tetapi juga ujian bagi kebebasan pers di Indonesia, jika teror ini dibiarkan tanpa penyelesaian, maka kita sedang membuka jalan bagi praktik intimidasi serupa di masa depan.
Tapi satu hal yang pasti bahwa kebenaran tidak bisa ditaklukkan dengan kepala babi dan bangkai tikus. Teror semacam ini tidak akan menghentikan jurnalis dari tugas mereka, dan semakin besar upaya untuk membungkam, semakin jelas siapa yang sedang ketakutan.
Kini pertanyaannya bukan lagi hanya "siapa pelakunya?" tetapi juga "siapa yang paling diuntungkan?" Apakah ini murni serangan terhadap kebebasan pers? Ataukah ada tangan-tangan tersembunyi yang sedang memainkan catur politiknya dengan menjadikan Tempo sebagai bidak dalam permainan yang lebih besar?
Satu hal yang pasti adalah kebebasan pers adalah pilar utama demokrasi, dan kita tidak boleh membiarkan pilar ini runtuh hanya karena sekelompok pihak ingin bermain kotor.


