Pagar Hutan | Saat Alam Diprivatisasi dan Keadilan Dipertanyakan
Beberapa waktu yang lalu, netizen telah dihebohkan dengan fenomena pagar laut yang membatasi akses nelayan ke perairan yang selama ini menjadi sumber mata pencaharian utama. Banyak nelayan yang akhirnya kehilangan penghidupan karena wilayah yang mereka manfaatkan selama bertahun-tahun tiba-tiba diprivatisasi oleh pihak yang berkepentingan. sekarang masalah yang hampir serupa kembali muncul, tetapi kali ini terjadi di darat, yakni Pagar Hutan.
Jika sebelumnya laut dipagari, dikuasai oleh pihak tertentu, sekarang giliran hutan lindung yang heboh. Kasus ini mencuat setelah Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Sumatera Utara, Yuliani Siregar yang dilaporkan ke polisi oleh PT Tun Sewindu, dimana setelah beliau membongkar pagar seng yang berdiri di kawasan hutan lindung di pesisir Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang.
Peristiwa ini terjadi pada 23 Februari 2025 lalu, saat Dinas LHK Sumut bersama masyarakat melakukan pembongkaran pagar seng yang dianggap menghalangi akses ke hutan lindung seluas 48 hektare. Menurut Yuliani, pagar tersebut tidak memiliki dasar hukum karena hutan lindung merupakan aset negara yang tidak boleh dikuasai oleh pihak swasta tanpa izin yang sah.
Namun, alih-alih mendapat dukungan hukum, langkah tersebut justru berbuntut panjang. PT Tun Sewindu justru mengklaim bahwa mereka memiliki hak atas lahan tersebut dan lebih parahnya lagi melaporkan Yuliani selaku Kadis LHK ke Polda Sumut dengan tuduhan perusakan properti.
Kasus ini pun menjadi perdebatan. Bagaimana mungkin hutan lindung, yang seharusnya dikelola oleh negara untuk kepentingan lingkungan dan masyarakat, justru bisa diklaim oleh perusahaan swasta? Jika memang PT Tun Sewindu memiliki izin resmi, mengapa tidak ada transparansi mengenai status lahan tersebut? Dan yang paling mengkhawatirkan, mengapa seorang pejabat yang berusaha menegakkan hukum justru dikriminalisasi?
Ketika Pagar Menjadi Alat Privatisasi Alam
Kasus pagar hutan ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, kita juga melihat bagaimana pagar laut menghalangi akses nelayan ke perairan. Seolah-olah, ada pola besar yang menunjukkan bagaimana sumber daya alam di Indonesia semakin dikavling untuk kepentingan segelintir orang yang memiliki modal dan kekuasaan.
Dulu, nelayan dilarang menangkap ikan di perairan yang sudah lama menjadi wilayah tangkapan mereka. Alasannya, kawasan tersebut sudah disewakan atau dimiliki oleh perusahaan tertentu. Kini, masyarakat yang tinggal di sekitar hutan pun menghadapi hal yang sama.
Jika hari ini hutan bisa dipagari dan diklaim oleh perusahaan, bagaimana dengan sungai? Gunung? Bahkan udara? Apakah kita akan sampai pada titik di mana setiap elemen alam harus Dipagari?
Kita harus bertanya dengan tegas, apakah ini bagian dari agenda besar privatisasi sumber daya alam di Indonesia? tidak menutup kemungkinan di masa depan, setiap bagian dari alam ini akan dikuasai oleh korporasi.
Kasus ini mendapat perhatian khusus dari Wali Kota Medan, Bobby Nasution, yang secara terbuka menyatakan dukungannya kepada Yuliani Siregar. Bobby menegaskan bahwa penertiban kawasan hutan harus dilakukan tanpa pandang bulu, dan tidak boleh ada pihak yang merasa di atas hukum.
Namun, sekuat apa pun dukungan seorang kepala daerah, jika sistem hukum tidak berpihak kepada keadilan, maka kasus seperti ini akan terus terjadi. Pemerintah pusat harus turun tangan dan menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat serta lingkungan, bukan kepada pemilik modal.
Ada beberapa pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh negara:
- Bagaimana bisa hutan lindung yang merupakan aset negara bisa dikuasai oleh perusahaan swasta?
- Siapa yang memberikan izin kepada PT Tun Sewindu hingga mereka merasa berhak memagari kawasan tersebut?
- Apakah ada indikasi permainan antara oknum tertentu dengan pihak perusahaan dalam kasus ini?
- Apakah negara benar-benar hadir untuk menjaga lingkungan, atau justru membiarkan sumber daya alam dijual ke pihak tertentu?
Jika pemerintah benar-benar serius dalam menjaga kelestarian alam, maka yang harus dipertanyakan bukanlah tindakan Yuliani yang membongkar pagar, melainkan pihak yang memasang pagar tersebut sejak awal.
Kasus ini juga menjadi ujian besar bagi sistem hukum di Indonesia. Jika seorang pejabat yang menegakkan aturan justru dikriminalisasi, maka ini menjadi sinyal buruk bagi siapa saja yang ingin membela lingkungan di masa depan.
Fenomena ini bukanlah hal baru. Dalam banyak kasus serupa, sering kali hukum lebih berpihak kepada pemilik modal. Masyarakat kecil yang berusaha mempertahankan haknya kerap dianggap sebagai pengganggu. Sementara pejabat yang menjalankan tugasnya dengan benar justru dikriminalisasi.
Jika kasus ini berakhir dengan kemenangan pihak yang memasang pagar, maka akan ada efek domino yang semakin memperburuk kondisi lingkungan di Indonesia. Perusahaan lain akan merasa lebih percaya diri untuk melakukan hal serupa.
Hari ini yang dipagari adalah hutan, sebelumnya laut. Besok, mungkin sungai, gunung, atau bahkan udara.
Bayangkan jika di masa depan kita harus membayar untuk bisa menikmati udara segar, karena kawasan hijau di kota-kota besar sudah dikuasai oleh pihak swasta.
Jika praktik semacam ini terus dibiarkan, maka Indonesia akan berubah menjadi negara yang penuh dengan pagar-pagar tak bertuan, di mana rakyat tidak lagi memiliki akses ke alam yang seharusnya menjadi hak bersama.
Pemerintah tidak bisa diam dan hanya menjadi penonton dalam kasus seperti ini. Jika pagar yang dipasang di kawasan hutan lindung itu memang ilegal, maka pihak yang memasangnya harus bertanggung jawab secara hukum.
Menurut saya beberapa langkah yang harus segera diambil:
- Investigasi menyeluruh terhadap status lahan yang dipagari. Jika memang hutan lindung tidak boleh dikuasai pihak swasta, maka harus ada tindakan hukum yang tegas.
- Transparansi perizinan lahan. Jika benar ada izin yang dikeluarkan, maka pemerintah harus menjelaskan secara terbuka bagaimana izin itu bisa terbit.
- Perlindungan hukum bagi pejabat yang menjalankan tugasnya dengan benar. Jika seorang pejabat seperti Yuliani Siregar dikriminalisasi, maka akan banyak pejabat lain yang takut untuk bertindak di masa depan.
Hutan bukan hanya milik segelintir orang. Hutan adalah milik negara dan seharusnya dikelola untuk kepentingan rakyat serta kelestarian lingkungan.
Saat ini kita dihadapkan pada pilihan: membiarkan praktik privatisasi ini terus berlanjut, atau bersama-sama menuntut keadilan.
Jika kita diam, maka bukan tidak mungkin di masa depan pagar-pagar ini akan semakin banyak muncul dan membatasi akses masyarakat terhadap sumber daya alam.
Saatnya negara hadir dan berpihak kepada rakyat, bukan kepada mereka yang ingin menguasai sumber daya alam dengan seenaknya. Jika tidak, maka masa depan Indonesia akan dipenuhi dengan pagar-pagar yang bukan hanya membatasi akses ke alam, tetapi juga membatasi keadilan dan kesejahteraan rakyatnya sendiri.


